Kompetensi Wartawan, Kompetisi dan Kemerdekaan Pers

 Opini

Kompetensi Wartawan, Kompetisi dan Kemerdekaan Pers
12 Juni 2015 | AdminMediaCentre

Setiap wartawan diwajibkan mengikuti uji kompetensi wartawan, memiliki sertifikat uji kompetensi wartawan, dan kartu pengenal uji kompetensi wartawan. Suatu saat, semua wartawan Indonesia wajib mengikuti uji kompetensi dan memiliki identitas uji kompetensi wartawan.

Untuk menyelenggarakan uji kompetensi wartawan, Dewan Pers bekerjasama dengan memberi hak kepada berbagai lembaga kewartawanan dan lembaga keilmuan jurnalistik (komunikasi) sebagai penguji. Lembaga-lembaga pers yang diberi hak, mencakup asosiasi wartawan (AJI, IJTI, PWI), badan usaha pers (Kompas, Jawa Pos, dan lain-lain), lembagalembaga pendidikan-pelatihan pers (seperti LPDS), penyelenggara pendidikan tinggi di bidang jurnalistik (komunikasi) atau yang memiliki program jurnalistik (UI, IISIP, Universitas Prof. Moestopo, Universitas Veteran Yogyakarta, London School Jakarta, dan

lain-lain). Untuk menjamin ketertiban, semua sertifikat, selain ditandatangani lembaga penyelenggara, ditandatangani juga oleh Ketua Dewan Pers (tandatangn asli, bukan elektronik atau cap). Kartu pengenal Uji Kompetensi Wartawan ditandatangani Ketua Dewan Pers. Meskipun penyelenggara telah berusaha memeriksa dengan teliti calon peserta, masih ada yang berusaha menyalahgunakan peluang ini. Pernah ada yang bukan wartawan ikut uji kompetensi. Pernah pula wartawan abal-abal ikut uji kompetensi.

Yang ganjil, mereka lulus dan mendapat kartu identitas yang ditandatangani Ketua Dewan Pers. Sambil bergurau saya katakan, ini tanda baik, menunjukkan uji kompetensi wartawan sangat berharga, sehingga merasa sangat perlu memiliki sertifikat dan kartu uji kompetensi wartawan. Dalam praktek, ternyata kartu identitas itu tidak hanya berguna untuk tugas-tugas jurnalistik. Seorang wartawan senior bercerita, suatu ketika ada urusan dengan polisi dan diminta menunjukkan kartu identitas. Beliau menunjukkan kartu wartawan utama sebagai kartu identitas tertinggi UKW dan SKW. Pak polisi dengan senang hati menerima “kekebalan” identitas pak wartawan.

Mudahmudahan bagi wartawan pemula (wartawan muda) kartu identitas itu akan lebih mendorong mereka menjadi wartawan sungguhan dan profesional. Bagaimana dengan wartawan abal-abal (sesungguhnya dalam makna profesional, mereka bukan wartawan). Karena peserta abal-abal itu tidak memenuhi syarat sebagai peserta, Dewan Pers memutuskan, bagi mereka yang memperoleh sertifikat dan identitas uji kompetensi wartawan, sertifikat dan kartunya akan dicabut dan dibatalkan. Hati kecil saya mengatakan: “Bagian mana dari kehidupan bangsa ini yang tidak mendorong orang untuk berbuat tidak layak, tidak jujur.

” Soal kejujuran, martabat, harga diri sepertinya menjadi sesuatu yang makin langka. Salah-salah suatu ketika akan ada anggapan orang yang jujur, bermartabat, mempunyai harga diri sebagai orang yang tidak normal. Makin sulit membedakan antara yang beritikad baik dengan yang beritikad buruk. Ada yang beritikad baik tetapi dilakukan
dengan cara-cara yang tidak baik, bahkan melanggar hukum dan etik yang semestinya ditaati. Etikad baik semata-mata dilihat sebagai tujuan (end) terlepas dari cara (proses).

Semestinya antara tujuan dan cara tidak boleh dipisahkan (two sides of one coin). Sebaliknya mereka yang beritikad buruk, acap kali nampak dalam serba kepahlawanan, bahasa yang senantiasa berpihak kepada kaum lemah, sekedar gincu untuk mewujudkan dengan mudah kepentingan diri atau kelompoknya. Etikad buruk semacam ini mudah dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat yang tidak punya kepedulian akibat kemiskinan dan keterbelakangan. Karena itu tidak heran dalam jargon-jargon orang atau kaum selfishtic tidak akan ada suatu keinginan atau tindakan untuk memperbaiki nasib rakyat banyak.

Rakyat yang sejahtera dan maju akan melikuidasi semua kepentingan selfishtic ini. Dalam berbagai kesempatan, saya mengatakan, karena rakyat tidak berdaya menghadapi kaum selfishtic, harapan sebagai pembela kaum lemah dan terbelakang ada pada pers, masyarakat sipil, dan kaum cendekiawan (yang menjadikan ilmu sebagai hati nurani: Bung Sjahrir, 1934). Tidak dapat diketahui pasti jumlah wartawan nasional.

Ada yang mengatakan 70.000. Ada pula yang mengatakan lebih dari 100.000. Hingga saat ini baru + 6500 wartawan yang lulus dan memiliki sertifikat dan kartu uji kompetensi wartawan. Masih terlalu banyak yang belum memiliki kartu pengenal uji kompetensi wartawan. Walaupun lamban harus tetap dijalankan. Selain melaksanakan
Piagam Palembang, uji kompetensi wartawan merupakan jalan meningkatkan mutu dan martabat pers kita. Semata-mata mengandalkan martabat, pada jaminan dan penghormatan terhadap kemerdekaan pers, tidaklah cukup.

Kita membutuhkan wartawan yang dapat duduk bersanding dengan wartawanwartawan bermartabat di manapun juga. Harus diakui perjalanan masih panjang. Bukan saja pelaksanaan uji kompetensi wartawan, tetapi berbagai aspek lain, seperti persoalan badan usaha pers, kesejahteraan wartawan perlu terus menerus ditata dan dilaksanakan.

Di atas semua itu, terwujudnya tingkah laku dan kapasitas profesional yang akan menjamin pers yang benar-benar jauh dari perbuatan abal-abal atau perbuatan tidak bermartabat lainnya, merupakan suatu kemestian (is a must). Kalau tidak, wartawan akan dipandang sebagai kelompok yang tidak patut diperhatikan, demikian juga hasil kerja mereka.

Pengertian Kompetensi Wartawan Sebelum mencatat lingkup kompetensi pers cq. wartawan, ada baiknya terlebih dahulu dicatat: “Apakah kompetensi? Mengapa kompetensi? Bagaimana memperoleh atau memiliki kompetensi? Apa saja kompetensi yang diperlukan oleh wartawan atau pers?” Apakah kompetensi? Dalam bahasa hukum: “kompetensi artinya berwenang atau memiliki hak bertindak atau membuat keputusan yang sah.

” Bertindak (tindakan) membuat keputusan yang sah artinya, tindakan atau keputusan itu dibenarkan atau diakui sebagai sesuatu yang benar (dibenarkan) oleh (secara) hukum. Sebagai konsekwensi lebih lanjut suatu keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh yang berwenang, akan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan dan wajib dipatuhi sampai terbukti ada kesalahan atau kekeliruan dalam keputusan atau tindakan tersebut. Dalam makna hukum, kompetensi acapkali juga diformulasikan sebagai kekuasaan yang sah artinya kekuasaan yang diakui hukum.

Dalam bahasa asing, kekuasaan semacam ini lazim disebut authority
atau bevoegdheid. Tetapi ada juga kekuasaan yang semata-mata dilihat sebagai kenyataan. Dalam bahasa asing disebut power atau macht. Power atau macht yang berdasarkan hukum adalah authority atau bevoegdheid. Kekuasaan (power atau macht) yang tidak berdasarkan hukum, dapat merupakan kekuasaan yang tidak sah (illegal) atau meskipun tidak berdasarkan hukum tetapi tidak bertentangan dengan hukum.

Seseorang dapat menjalankan kekuasaan sukarela membersihkan halaman rumah tetangga yang tidak dihuni karena khawatir ada ular atau bahaya lain. Namun, sekali kekuasaan semacam itu dijalankan, menimbulkan
kewajiban hukum bagi yang bersangkutan untuk terus menerus membersihkan halaman tersebut sampai pemilik kembali atau dibersihkan pemilik baru. Jadi, suatu kewajiban hukum dapat timbul walaupun tidak ada hukum yang mengatur kewajiban itu. Bagaimana dengan hak?

Hak dibedakan antara hak yang bersifat pribadi (perorangan atau kelompok). Dalam hukum, hak semacam ini disebut hak keperdataan atau bersifat keperdataan (privaatrechtelijk, private right). Hak lain yaitu yang melekat pada pemegang kekuasaan publik yang disebut kekuasaan (dalam makna authority). Tidak ada hak tanpa dasar hukum. Mengapa dibedakan. Menjalankan kewajiban tanpa dasar hukum tidak akan menuju penyalahgunaan kewajiban. Sebaliknya, hak dapat melahirkan kesewenang-wenangan (arbitrary, willekeur).

Dalam hukum dikenal sebutan “penyalahgunaan hak untuk hak-hak yang bersifat keperdataan” (misbruik van recht). Dalam kaitan dengan kekuasaan dikenal sebutan “penyalahgunaan kekuasaan” (misuse of power). Tidak ada penyalahgunaan kewajiban (misbruik van plicht, misuse of duty). Sekali-kali, seorang pejabat yang bertindak berlebihan (excersive) bahkan sewenangwenang mengatakan: “Saya sedang melakukan kewajiban.” Suatu ungkapan manipulatif, karena yang sebenarnya adalah penyalahgunaan wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan. sumber dari Dewan Pers Indonesia

Author: 

Related Posts

Comments are closed.